Saturday, February 17, 2007

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

KESIMPULAN

Pengertian Akad
Akad atau perjanjian adalah keterikatan keinginan dengan pihak lain dengan cara yang membutuhkan komitmen tertentu.

Rukun-rukun Perjanjian

Pertama: Pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Pihak-pihak yang melakukan akad tersebut disyaratkan memiliki kompetensi beraktivitas, baik itu kesempurnaan masa berpikir dan kemampuan memilih. Sementara keberlangsungan perjanjian secara permanen membutuhkan tidak adanya berbagai macam hak pilih tertentu, seperti hak pilih persyaratan dan sejenisnya.

Kedua: Objek perjanjian. Syaratnya harus suci dan fung-sional, bisa diserahterimakan, hak milik penuh dari pihak yang melakukan perjanjian, diketahui secara jelas sehingga tidak ada unsur ketidakjelasan sedikitpun dan bisa menyelamatkan perjan-jian usaha itu dari konflik.

Ketiga: Pelafalan perjanjian. Yakni pengungkapan oleh pihak-pihak yang terkait terhadap keinginannya yang mengesankan terlaksananya perjanjian. Pelafalan itu terdiri dari ijab dan qabul. Ijab adalah yang diucapkan pertama kali dan menunjukkan pemindahan kepemilikan. Qabul adalah yang diucapkan sesudah ijab dan menunjukkan penerimaan kepemilikan.

Para ulama bersepakat bahwa perjanjian itu terlaksana de-ngan pelafalan perjanjian tersebut. Namun mereka berbeda pendapat apakah perjanjian itu terlaksana hanya dengan serah terima barang, yakni hanya dengan perbuatan tanpa ucapan. Namun yang benar adalah pendapat yang menyatakan itu sah.

Dalam melafalkan perjanjian itu disyaratkan kesamaan lokasi perjanjian berlangsung. Kemudian ijab itu tetap tidak meng-alami perubahan hingga datang qabul dari pihak lain, serta tidak muncul sikap menolak atau sikap tidak menerima dari pihak yang lain.

Kompetensi adalah kelayakan seseorang dalam menciptakan atau menerima kewajiban, yakni untuk menjalankan hak dan kewajibannya.

Kompetensi tersebut ada dua macam: Kompetensi wajib dan kompe-tensi melaksanakan hak dan kewajiban. Keduanya ada yang bersifat penuh dan ada yang bersifat tidak penuh. Sehingga klafisikasinya menjadi empat:

1. Kompetensi wajib penuh: yakni kelayakan seseorang untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Kompetensi ini dimiliki oleh seseorang dari semenjak dia lahir hingga ia meninggalkan dunia ini.

2. Kompetensi wajib tidak penuh: Yakni kelayakan sese-orang untuk menerima haknya saja. Kompetensi ini sudah dimiliki oleh janin ketika masih menempel di dinding rahim hing-ga dilahirkan.

3. Kompetensi Penuh dalam Beraktivitas. Yakni kompetensi sempurna melakukan aktivitas, yakni aktivitas yang dilakukan manusia sesuai dengan cara yang disyariatkan. Tentunya ini hanya bisa dilakukan dalam akil baligh sempurna dan adanya kebebasan memilih.

4. Kompetensi tidak Penuh dalam Beraktivitas. Yakni kelayakan seseorang melakukan sebagian aktivitas saja. Baro-meternya adalah masa mumayyiz. Kompetensi ini terus berkem-bang hingga masa baligh sempurna. Kalau sudah sempurna masa akil balighnya.

Sementara aktivitas anak kecil yang sudah nalar (mumayyiz) juga terbagi menjadi tiga:

Pertama: Yang dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama. Yakni aktivitas yang murni bermanfaat, seperti menerima hibah.

Kedua: Yang dianggap tidak sah, juga menurut kesepakatan ulama. Yakni yang murni berbahaya, seperti memberikan hibah, meminjamkan uang dan sejenisnya.

Ketiga: Yang tergantung pada pendapat walinya. Yakni yang terkadang bermanfaat namun terkadang berbahaya. Seperti jual beli dan sejenisnya.

Lelaki dan wanita memiliki kompetensi yang sama (kecuali bila disebutkan perbedaannya oleh Allah dan RasulNya -pent), hanya dikecualikan dalam dua hal:

Pertama: Kompetensi wanita dalam melakukan akad nikah (menjadi wali nikah). Perbuatan ini dinyatakan terlarang bagi wanita oleh mayoritas ulama, namun kalangan Hanafiyah mem-bolehkannya.

Kedua: Kompetensi wanita memberikan infak yang lebih dari sepertiga hartanya tanpa izin suami. Perbuatan ini juga dilarang bagi wanita menurut mayoritas ulama, kecuali Imam Malik yang membolehkannya.

Kendala-kendala Kompetensi:

Yakni berbagai hal yang datang kepada seseorang sehingga menghilangkan kompetensinya atau menguranginya serta meru-bah sebagian hukum yang berkaitan dengan kompetensi tersebut.

Kendala-kendala itu terbagi menjadi dua:

Pertama: Kendala-kendala dari Allah. Yakni yang tidak ada campur tangan manusia di dalamnya, seperti munculnya penyakit gila, pingsan, sifat idiot dan tidur. Semua kendala ini menggu-gurkan kompetensi yang ada, dan berarti juga menggugurkan seluruh aktivitas sehingga menjadi pekerjaan sia-sia yang tidak membawa pengaruh apa-apa. Namun hal ini tidaklah berten-tangan dengan wajibnya zakat dalam hartanya, tanggungjawab yang dia pikul bila merusak barang orang lain. Karena hal itu berkaitan dengan hukum sebab akibat. Namun tanggungjawab itu dialamatkan kepada walinya.

Kedua: Kendala-kendala yang berasal dari manusia itu sendiri. Yakni yang manusianya juga memiliki andil untuk mewu-judkannya. Seperti mabuk, ketidaktahuan, hutang, sakit yang membawa pada kematian.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mabuk yang diharam-kan itu tidak menggugurkan kompetensi dan tidak menggugurkan beban hukum. Namun kalangan Malikiyah berpendapat lain, dalam riwayat yang populer dari mereka, demikian juga Ibnu Taimiyah.

Adapun orang pandir dan orang yang dicekal karena hutang misalnya, seluruh aktivitasnya disamakan dengan aktivitas anak kecil yang nalar.

Berbagai Macam Hak Pilih dalam Perjanjian Usaha

Hak pilih dimiliki oleh setiap pihak yang terikat dalam me-milih di antara dua hal yang terbaik: melanjutkan perjanjian atau membatalkannya. Disyariatkan untuk membuktikan dan memper-tegas keridhaan masing-masing pihak.

Hak pilih itu sendiri ada bermacam-macam, di antaranya:

Pertama: Hak pilih di lokasi perjanjian (Khiyar Majlis). Yakni hak masing-masing pihak untuk membatalkan perjanjiannya atau melan-jutkannya selama masih di lokasi perjanjian.

Kedua: Hak pilih persyaratan (Khiyar asy-Syarth). Yakni hak masing-masing pihak bagi dirinya sendiri atau bagi pihak lain untuk membatalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu.
Ketiga: Hak pilih melihat (Khiyar ar-Ru'yah). Yakni hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian pada objek tertentu yang belum ia lihat untuk membatalkannya bila telah melihat objek tersebut.

Keempat: Hak pilih bila terdapat cacat pada objek perjanjian (Khiyar 'Aib)

Yakni hak pilih untuk membatalkan perjanjian bila tersingkap adanya cacat pada objek perjanjian.

Cacat Dalam Perjanjian Usaha

Pelaksanaan terhadap perjanjian usaha terkadang menemui berbagai cacat yang bisa menghilangkan keridhaan satu pihak, atau membuat cacat objek perjanjian, sehingga pihak yang merasa dirugikan bisa membatalkan perjanjian tersebut. Di antara cacat-cacat itu adalah:

1. Intimidasi.

Yakni memaksa pihak lain terhadap ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya, melalui gertakan dan ancaman.

Intimidasi ini ada dua macam: Intimidasi fungsional, yakni yang dapat merusak keridhaan dan hak pilih. Biasanya dilakukan dengan ancaman bunuh, membikin cacat anggota tubuh atau merampas seluruh harta pihak yang diintimidasi.

Intimidasi non fungsional. Yakni intimidasi yang tidak menghilangkan keridhaan, dan tidak merusak hak pilih, biasanya dilakukan dengan ancaman pukul atau merampas sebagian harta pihak yang diintimidasi.

Para ulama telah bersepakat bahwa segala bentuk aktivitas finansial tidak bisa berlaku di bawah intimidasi. Namun mereka berbeda pendapat bila ternyata pihak yang diintimidasi merasa rela, setelah tidak diintimidasi lagi.

2. Kekeliruan.

Yakni kekeliruan yang berkaitan dengan objek perjanjian. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata yang didapatinya perhiasan terbuat dari kaca.

Kekeliruan itu sendiri terbagi menjadi dua:

a) Kekeliruan yang membatalkan perjanjian, yakni bila ter-jadi perbedaan jenis atau fasilitas objek perjanjian secara signifikan. Seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara bang-kai dengan hewan sembelihan yang sudah berupa daging.

b) Kekeliruan yang tidak sampai membatalkan perjanjian, akan tetapi pihak yang dirugikan tetap diberi hak untuk mem-batalkan perjanjian itu. Yakni ketika terjadi perbedaan yang bukan pada jenis atau fasilitas objek secara signifikan. Seperti orang yang membeli hewan dengan dugaan jantan, ternyata betina.

3. Penyamaran Harga.

Yakni terjadinya kekurangan pada salah satu barang barter atau kompensasi, atau terjadinya tukar menukar yang tidak adil (dan diketahui salah satu pihak). Penyamaran harga itu sendiri ada dua macam:

Penyamaran ringan. Yakni yang tidak menyebabkan objek perjanjian keluar dari harga pasaran dengan perkiraan harga para pakar perniagaan. Penyamaran ringan semacam ini dapat dimaklumi, bahkan hampir tidak ada jual beli yang selamat dari penyamaran semacam ini, sehingga tidak berpengaruh sama sekali.

Yang kedua adalah penyamaran berat yang sampai menge-luarkan barang perjanjian dari harga pasaran. Mengenai penga-ruhnya terhadap perjanjian usaha, ada tiga pendapat di kalangan para ulama:

a) Tidak perlu dipedulikan sama sekali, demi menjaga kemaslahatan berlangsungnya perjanjian usaha.

b) Atau menganggapnya dapat membatalkan perjanjian secara mutlak, demi menjaga pihak yang dirugikan agar tidak mendapatkan perlakuan semena-mena.

c) Atau dilihat dahulu, kalau dengan tujuan menipu (yakni disengaja), dapat membatalkan perjanjian. Namun bila tidak bertujuan demikian, maka tidak berpengaruh apa-apa. Kemung-kinan pendapat terakhir ini adalah yang paling tepat.

Semua rincian tersebut tidak berlaku bagi harta-harta wakaf dan harta orang bangkrut dan terlilit hutang serta harta Baitul Mal. Karena dalam semua harta tersebut, semua bentuk kamu-flase harga tidak membatalkan perjanjiannya. Karena pengo-perasian harta-harta tersebut harus berputar dalam kepentingan harta itu sendiri.

Mencermati Perubahan Kondisi Mendadak

Apabila terjadi perubahan kondisi mendatang pada masa terjadinya perjanjian secara drastis, seperti kenaikan nilai mata uang, kenaikan bahan-bahan pokok, sehingga pelaksanaan perjan-jian usaha tersebut sesuai perjanjian dapat menimbulkan kerugian besar bagi pihak yang menjaga komitmen yang harus ia tanggung, maka pihak hakim boleh merubah hak-hak dan komitmen bila terjadi konflik, sehingga kerugian ditanggung secara bersama oleh kedua belah pihak. Pihak pelaksana perjanjian juga berhak membatalkan perjanjian yang masih berlangsung kalau ia melihat lebih baik untuk dibatalkan saja, tentunya dengan memberikan kompensasi seimbang kepada pihak yang memiliki hasil perjanjian. Pihak hakim juga boleh membiarkan pelaksana untuk meneruskan pelaksanaannya kalau ia melihat itu lebih baik demi kemaslahatan pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.

Asal dari Transaksi dan Syarat adalah Mubah

Sehingga yang diharamkan adalah yang diindikasikan keha-ramannya oleh syariat atau qiyas.

Persyaratan Sanksi Hukuman

Persyaratan sanksi hukuman yang berlaku dalam berbagai perjanjian usaha sekarang ini dianggap sah dan diakui, bahkan harus diterapkan selama pihak yang bersalah tidak memiliki alasan yang diterima syariat dalam melanggar komitmen. Sehing-ga alasannya ini dapat menggugurkan sanksi hukuman tersebut.

Namun apabila persyaratan sanksi hukuman itu banyak sekali menurut kebiasaan, sehingga tujuannya adalah ancaman keuangan, jauh dari kode etik syariat, urusannya harus dikem-balikan kepada sikap adil dan bijaksana sesuai dengan manfaat atau bahaya yang timbul karenanya.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]