Saturday, February 17, 2007

 

Assalamualaikum Wr. Wb

Selamat Datang........

Atas ridho Allow SWT kita masih dalam lindungan-Nya
Sholawat serta salam senatiasa kita panjatkan pada nabi
Junjungan kita Muhammad SAW.

WebBlog ini dibuat dimaksudkan hanya untuk mengingatkan kita, bahwa
ada seoarang manusia yang ingin dimasa sisa hidupnya mempelajari sebuah
syariah yang telah diyakininya untuk menjadi usahawan muslim sejati.

Tulisan yang ada dalam webBlog ini adalah buah pikiran dari seorang ilmuwan & Cendikiawan muslim yaitu Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi dan juga dari berbagi sumber.

WebBlog ini akan menampung semua masalah ataupun pembahasan yang berbau syariah cara menjadi wirausahan muslim sejati dan motivasi yang membuat pemiliknya semangat menjalankannya.

Dan akhirnya semoga ini semua bermanfaat bagi kita semua.

Wasalamuallaikum Wr. Wb.

ttd 1222


(Cindramata)


 

:: Jual Beli Dan Hukum-Hukumnya ::

SYARAT-SYARAT SAH JUAL BELI

Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang diperjual-belikan.

Pertama: Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Kedua: Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yakni sebagai berikut:

a. Objek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa dise-rahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.

Tidak sah menjualbelikan barang najis atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena benda-benda ter-sebut menurut syariat tidak dapat digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan belalang. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati (lever) dan limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian.

Juga tidak sah menjual barang yang belum menjadi hak milik, karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap itu. Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli as-Salm. Yakni sejenis jual beli dengan menjual barang yang digambarkan kri-terianya secara jelas dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang diserahterimakan bela-kangan. Karena ada dalil yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini.

Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau yang ber-ada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti menjual Malaqih, Madhamin atau menjual ikan yang masih dalam air, burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih adalah anak yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sementara madhamin adalah anak yang masih dalam tulang dada hewan be-tina.

Adapun jual beli fudhuliy yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Na-mun yang benar adalah tergantung izin dari pemilik barang.

b. Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pemba-yarannya, agar tidak terkena faktor "ketidaktahuan" yang bisa termasuk "menjual kucing dalam karung", karena itu dilarang.

c. Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang untuk jangka masa tertentu yang diketahui atau tidak di-ketahui. Seperti orang yang menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat apabila sudah dibayar, maka jual beli itu diba-talkan. Itu disebut dengan "jual beli pelunasan".

Nanti jenis jual beli akan dibahas secara terpisah dengan rinci dalam pembahasan ini, insya Allah.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Jual Beli Dan Hukum-Hukumnya ::

KLASIFIKASI JUAL BELI

Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Kami akan menyebutkan sebagian di antara pembagian tersebut:

1. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Objek Dagangan

Ditinjau dari sisi ini jual beli dibagi menjadi tiga jenis: Pertama: Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Kedua: Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang dengan uang. Ketiga: Jual beli muqayadhah atau barter. Yakni menukar barang dengan barang.

2. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga

a) Jual beli Bargainal (Tawar-menawar). Yakni jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.

b). Jual beli amanah. Yakni jual beli di mana penjual mem-beritahukan harga modal jualannya. Dengan dasar jual beli ini, jenis jual beli tersebut terbagi lain menjadi tiga jenis lain:

* Jual beli murabahah. Yakni jual beli dengan modal dan ke-untungan yang diketahui.

* Jual beli wadhi'ah. yakni jual dengan harga di bawah modal dan jumlah kerugian yang diketahui.

* Jual beli tauliyah. Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian.

Sebagian ahli fiqih menambahkan lagi jenis jual beli yaitu jual beli isyrak dan mustarsal. Isyrak adalah menjual sebagian barang dengan sebagian uang bayaran. Sedang jual beli mustarsal adalah jual beli dengan harga pasar. Mustarsil adalah orang lugu yang tidak mengerti harga dan tawar menawar.

c) Jual beli muzayadah (lelang). Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut.

Kebalikannya disebut dengan jual beli munaqadhah (obral). Yakni si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagang-annya, kemudian si pembeli akan membeli dengan harga ter-murah yang mereka tawarkan.

3. Pembagian Jual Beli Dilihat dari Cara Pembayaran

Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian:

* Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.

* Jual beli dengan pembayaran tertunda.

* Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.

* Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Jual Beli Dan Hukum-Hukumnya ::

JUAL BELI DAN HUKUM-HUKUMNYA

Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Penjualan merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya di antara bentuk jual beli ada juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi seorang usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga ia betul-betul mengerti perso-alan. Dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan masalah jual beli. Mari kita mengikuti pembahasan berikut ini:

DEFINISI JUAL-BELI

Jual beli secara etimologis artinya: Menukar harta dengan harta.(1) Secara terminologis artinya: Transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian "fasilitas" dan "kenikmatan", agar tidak termasuk di dalamnya pe-nyewaan dan menikah.

(1) Jual beli adalah dua kata yang saling berlawanan artinya, namun masing-masing sering digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Dua orang yang berjual beli memiliki hak untuk menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli.” Akan tetapi bila disebutkan secara umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukkan kepada orang yang mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang menjadikan barang itu miliknya dengan kompensasi pembayaran.


DISYARIATKANNYA JUAL-BELI

Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum mus-limin. Karena kehidupan umat menusia tidak bisa tegak tanpa adanya jual beli. Allah berfirman:

"Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba.." (Al-Baqarah: 275).

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

Syarat Sanksi dalam Perjanjian Usaha

Hal yang populer dalam berbagai perjanjian pemborongan bangunan dan ekspor-impor modern adalah adanya syarat sanksi atau pemberian denda yang ditujukan kepada seorang pem-borong atau eksportir dengan diharuskan menyelesaikan kewa-jiban usaha jasanya selama masa tertentu, lalu dikenakan denda ketika ia terlambat dari waktu yang disepakati. Sebenarnya sejauh mana sistem ini disyariatkan?

Orang yang merenungkan persoalan ini pasti akan menda-patkan bahwa aturan itu adalah demi kepentingan perjanjian itu sendiri. Karena cara itu dapat mendorong agar perjanjian berjalan mulus pada waktu yang ditentukan. Oleh sebab itu, secara teoristis persyaratan semacam itu dapat dibenarkan, selama tidak ada alasan yang diterima syariat. Namun kalau ada unsur ber-lebih-lebihan dalam pemberian denda. Semuanya harus dikem-balikan kepada sikap adil dan arif. Dalam menentukan jumlah dendanya hendaknya dikembalikan kepada keputusan para pakar hukum dan para ulama.

Majlis Kibaril Ulama (Majlis Ulama Besar) di Saudi Arabia telah membahas problematika syarat sanksi tersebut, dan pada akhirnya mereka berkesimpulan bahwa syarat itu sah dan harus diterapkan, namun jumlah denda yang ditentukan hendaknya didasari oleh sikap adil dan arif. Berikut ini ketetapan dari Lem-baga Ulama Besar tersebut:

"Keputusan ini kami ambil, setelah tukar menukar pendapat, mendiskusikan dan mengeluarkan segala persoalan yang ada yang bisa dijadikan sebagai analogi dari syarat sanksi tersebut, lalu diadakan diskusi untuk mengalamatkan berbagai analogi tersebut kepada permasalahan-permasalahan itu, serta mempe-lajari firman Allah q: "Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian." dan hadits Rasulullah a: "Kaum muslimin terikat oleh persyaratan mereka, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal," juga ucapan Umar y, "Letak denyut hukum adalah pada persyaratannya.." serta bersandar pada pendapat yang benar bahwa "asal dari semua persyaratan adalah sah," yakni bahwa tidak ada yang haram dan batal kecuali yang diindikasikan oleh syariat batal atau haram dengan nash/dalil tegas, atau qiyas."

Di sini akan kami sitir apa yang telah disebutkan oleh para ulama tentang pembagian syarat dalam perjanjian menjadi syarat sah dan syarat rusak atau batal, dan bahwa syarat yang sah juga terbagi menjadi tiga:

Pertama: Syarat yang menjadi konsekuensi perjanjian, seperti syarat harus ada serah terima barang dan penyerahan pemba-yaran.

Kedua: Syarat demi kepentingan perjanjian, seperti syarat bentuk pembayaran, seperi pembayaran tertunda atau peng-gadaian, atau dengan jaminan orang. Seperti juga bentuk barang, seperti misalnya keberadaan budak harus masih perawan.

Ketiga: Syarat yang jelas kegunaannya namun bukan meru-pakan konsekuensi perjanjian, dan juga bukan demi kepentingan perjanjian tersebut, namun juga tidak bertentangan dengan konsekuensi perjanjian itu. Seperti seorang penjual rumah yang meminta persyaratan untuk tetap tinggal di rumah itu selama satu bulan.

Sementara persyaratan rusak pun terbagi menjadi tiga:

Pertama: Persyaratan dari salah satu pihak yang terkait dalam perjanjian terhadap pihak lain untuk melakukan satu akad jual beli lain, penyewaan lain dan sejenisnya.

Kedua: Persyaratan yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian. Seperti persyaratan bahwa barang yang dijual tidak boleh rugi bila dijual kembali, atau agar tidak dijual lagi, diberikan atau (bila budak) dibebaskan.

Ketiga: Persyaratan yang membuat perjanjian menjadi ter-gantung. Seperti ucapan, "Aku jual ini kepadamu, tetapi bila si fulan sudah datang."

Dengan demikian dapat diterapkan syarat sanksi, dan tam-pak jelas bahwa syarat itu termasuk demi kepentingan perjanjian usaha. Karena ia dapat mendorong agar perjanjian itu dilak-sanakan pada waktu yang telah ditentukan.

Bisa juga dijadikan dalil penenang, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya dengan sanad beliau sendiri dari Ibnu Sirin, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada orang sewaan, "Masukkanlah kendaraanmu. Kalau pada hari ini aku tidak pergi bersamamu, maka engkau kuberi seratus dirham." Ternyata pada hari tersebut ia tidak pergi. Maka Hakim Syuraih berkata, "Barangsiapa yang menetapkan syarat atas dirinya sendiri dengan kesadaran tanpa ada yang memaksa, maka syarat itu men-jadi kewajiban dirinya.."

Ayyub meriwayatkan dari Ibnu Sirin, ada seorang lelaki yang menjual makanan. Ia berkata, "Kalau pada hari Rabu aku tidak menemuimu, maka tidak ada jual beli antara kita." Ternyata lelaki itu tidak datang pada hari tersebut. Maka Syuraih berkata kepada pembelinya, "Anda menyalahi janji." Beliau menetapkan denda atasnya.

Lebih daripada itu, hal tersebut berarti mengkonfrontasikan antara sikap merusak transaksi dengan menjaga komitmen terhadap perjanjian. Karena merusak transaksi disinyalir membahayakan dan menghilangkan banyak manfaat. Dengan membenarkan adanya sanksi hukum tersebut akan tertutup pintu terjadinya kekacauan atau mempermainkan hukum-hukum Allah, bahkan termasuk sebab pengingkaran terhadap pemenuhan janji, selain juga demi merealisasikan firman Allah:

"Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian." (Al-Maidah : 1).

Dengan semua alasan itu, Majelis Ulama Besar Saudi Arabia menetapkan secara aklamasi bahwa syarat sanksi hukum yang diberlakukan dalam berbagai perjanjian usaha itu adalah syarat sah dan diakui kebenarannya, selama (yang melakukan kesa-lahan) tidak memiliki alasan yang dibenarkan syariat ketika ia menyalahi komitmen terhadap transaksi. Bila terhadap alasan yang dibenarkan syariat, maka sanksi itu tidak berlaku hingga alasan itu tidak ada lagi.

Kalau syarat sanksi itu banyak sekali jumlahnya sesuai kebiasaan yang ada sehingga tujuannya adalah ancaman finansial, tidak lagi sejalan dengan konsekuensi kaidah-kaidah syarat, maka harus dikembalikan kepada sikap adil dan bijaksana sesuai dengan manfaat yang hilang atau kerusakan yang ditimbulkan. Kalau terjadi perselisihan, dikembalikan kepada hakim yang syar’i melalui musyawarah dengan para pakar hukum dan ulama, demi mengamalkan firman Allah:

"Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (An-Nisa: 58).

Demikian juga dengan firman Allah:

"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa." (Al-Maidah: 8).

Juga demi mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
"Segala bahaya dan yang membahayakan adalah haram.."

Semoga Allah memberikan taufikNya, dan semoga shalawat dan salam yang sebanyak-banyaknya terlimpahkan kepada Nabi Muhammad a, kepada sanak saudara dan kepada para Sahabat beliau.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

KESIMPULAN

Pengertian Akad
Akad atau perjanjian adalah keterikatan keinginan dengan pihak lain dengan cara yang membutuhkan komitmen tertentu.

Rukun-rukun Perjanjian

Pertama: Pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Pihak-pihak yang melakukan akad tersebut disyaratkan memiliki kompetensi beraktivitas, baik itu kesempurnaan masa berpikir dan kemampuan memilih. Sementara keberlangsungan perjanjian secara permanen membutuhkan tidak adanya berbagai macam hak pilih tertentu, seperti hak pilih persyaratan dan sejenisnya.

Kedua: Objek perjanjian. Syaratnya harus suci dan fung-sional, bisa diserahterimakan, hak milik penuh dari pihak yang melakukan perjanjian, diketahui secara jelas sehingga tidak ada unsur ketidakjelasan sedikitpun dan bisa menyelamatkan perjan-jian usaha itu dari konflik.

Ketiga: Pelafalan perjanjian. Yakni pengungkapan oleh pihak-pihak yang terkait terhadap keinginannya yang mengesankan terlaksananya perjanjian. Pelafalan itu terdiri dari ijab dan qabul. Ijab adalah yang diucapkan pertama kali dan menunjukkan pemindahan kepemilikan. Qabul adalah yang diucapkan sesudah ijab dan menunjukkan penerimaan kepemilikan.

Para ulama bersepakat bahwa perjanjian itu terlaksana de-ngan pelafalan perjanjian tersebut. Namun mereka berbeda pendapat apakah perjanjian itu terlaksana hanya dengan serah terima barang, yakni hanya dengan perbuatan tanpa ucapan. Namun yang benar adalah pendapat yang menyatakan itu sah.

Dalam melafalkan perjanjian itu disyaratkan kesamaan lokasi perjanjian berlangsung. Kemudian ijab itu tetap tidak meng-alami perubahan hingga datang qabul dari pihak lain, serta tidak muncul sikap menolak atau sikap tidak menerima dari pihak yang lain.

Kompetensi adalah kelayakan seseorang dalam menciptakan atau menerima kewajiban, yakni untuk menjalankan hak dan kewajibannya.

Kompetensi tersebut ada dua macam: Kompetensi wajib dan kompe-tensi melaksanakan hak dan kewajiban. Keduanya ada yang bersifat penuh dan ada yang bersifat tidak penuh. Sehingga klafisikasinya menjadi empat:

1. Kompetensi wajib penuh: yakni kelayakan seseorang untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Kompetensi ini dimiliki oleh seseorang dari semenjak dia lahir hingga ia meninggalkan dunia ini.

2. Kompetensi wajib tidak penuh: Yakni kelayakan sese-orang untuk menerima haknya saja. Kompetensi ini sudah dimiliki oleh janin ketika masih menempel di dinding rahim hing-ga dilahirkan.

3. Kompetensi Penuh dalam Beraktivitas. Yakni kompetensi sempurna melakukan aktivitas, yakni aktivitas yang dilakukan manusia sesuai dengan cara yang disyariatkan. Tentunya ini hanya bisa dilakukan dalam akil baligh sempurna dan adanya kebebasan memilih.

4. Kompetensi tidak Penuh dalam Beraktivitas. Yakni kelayakan seseorang melakukan sebagian aktivitas saja. Baro-meternya adalah masa mumayyiz. Kompetensi ini terus berkem-bang hingga masa baligh sempurna. Kalau sudah sempurna masa akil balighnya.

Sementara aktivitas anak kecil yang sudah nalar (mumayyiz) juga terbagi menjadi tiga:

Pertama: Yang dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama. Yakni aktivitas yang murni bermanfaat, seperti menerima hibah.

Kedua: Yang dianggap tidak sah, juga menurut kesepakatan ulama. Yakni yang murni berbahaya, seperti memberikan hibah, meminjamkan uang dan sejenisnya.

Ketiga: Yang tergantung pada pendapat walinya. Yakni yang terkadang bermanfaat namun terkadang berbahaya. Seperti jual beli dan sejenisnya.

Lelaki dan wanita memiliki kompetensi yang sama (kecuali bila disebutkan perbedaannya oleh Allah dan RasulNya -pent), hanya dikecualikan dalam dua hal:

Pertama: Kompetensi wanita dalam melakukan akad nikah (menjadi wali nikah). Perbuatan ini dinyatakan terlarang bagi wanita oleh mayoritas ulama, namun kalangan Hanafiyah mem-bolehkannya.

Kedua: Kompetensi wanita memberikan infak yang lebih dari sepertiga hartanya tanpa izin suami. Perbuatan ini juga dilarang bagi wanita menurut mayoritas ulama, kecuali Imam Malik yang membolehkannya.

Kendala-kendala Kompetensi:

Yakni berbagai hal yang datang kepada seseorang sehingga menghilangkan kompetensinya atau menguranginya serta meru-bah sebagian hukum yang berkaitan dengan kompetensi tersebut.

Kendala-kendala itu terbagi menjadi dua:

Pertama: Kendala-kendala dari Allah. Yakni yang tidak ada campur tangan manusia di dalamnya, seperti munculnya penyakit gila, pingsan, sifat idiot dan tidur. Semua kendala ini menggu-gurkan kompetensi yang ada, dan berarti juga menggugurkan seluruh aktivitas sehingga menjadi pekerjaan sia-sia yang tidak membawa pengaruh apa-apa. Namun hal ini tidaklah berten-tangan dengan wajibnya zakat dalam hartanya, tanggungjawab yang dia pikul bila merusak barang orang lain. Karena hal itu berkaitan dengan hukum sebab akibat. Namun tanggungjawab itu dialamatkan kepada walinya.

Kedua: Kendala-kendala yang berasal dari manusia itu sendiri. Yakni yang manusianya juga memiliki andil untuk mewu-judkannya. Seperti mabuk, ketidaktahuan, hutang, sakit yang membawa pada kematian.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mabuk yang diharam-kan itu tidak menggugurkan kompetensi dan tidak menggugurkan beban hukum. Namun kalangan Malikiyah berpendapat lain, dalam riwayat yang populer dari mereka, demikian juga Ibnu Taimiyah.

Adapun orang pandir dan orang yang dicekal karena hutang misalnya, seluruh aktivitasnya disamakan dengan aktivitas anak kecil yang nalar.

Berbagai Macam Hak Pilih dalam Perjanjian Usaha

Hak pilih dimiliki oleh setiap pihak yang terikat dalam me-milih di antara dua hal yang terbaik: melanjutkan perjanjian atau membatalkannya. Disyariatkan untuk membuktikan dan memper-tegas keridhaan masing-masing pihak.

Hak pilih itu sendiri ada bermacam-macam, di antaranya:

Pertama: Hak pilih di lokasi perjanjian (Khiyar Majlis). Yakni hak masing-masing pihak untuk membatalkan perjanjiannya atau melan-jutkannya selama masih di lokasi perjanjian.

Kedua: Hak pilih persyaratan (Khiyar asy-Syarth). Yakni hak masing-masing pihak bagi dirinya sendiri atau bagi pihak lain untuk membatalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu.
Ketiga: Hak pilih melihat (Khiyar ar-Ru'yah). Yakni hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian pada objek tertentu yang belum ia lihat untuk membatalkannya bila telah melihat objek tersebut.

Keempat: Hak pilih bila terdapat cacat pada objek perjanjian (Khiyar 'Aib)

Yakni hak pilih untuk membatalkan perjanjian bila tersingkap adanya cacat pada objek perjanjian.

Cacat Dalam Perjanjian Usaha

Pelaksanaan terhadap perjanjian usaha terkadang menemui berbagai cacat yang bisa menghilangkan keridhaan satu pihak, atau membuat cacat objek perjanjian, sehingga pihak yang merasa dirugikan bisa membatalkan perjanjian tersebut. Di antara cacat-cacat itu adalah:

1. Intimidasi.

Yakni memaksa pihak lain terhadap ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya, melalui gertakan dan ancaman.

Intimidasi ini ada dua macam: Intimidasi fungsional, yakni yang dapat merusak keridhaan dan hak pilih. Biasanya dilakukan dengan ancaman bunuh, membikin cacat anggota tubuh atau merampas seluruh harta pihak yang diintimidasi.

Intimidasi non fungsional. Yakni intimidasi yang tidak menghilangkan keridhaan, dan tidak merusak hak pilih, biasanya dilakukan dengan ancaman pukul atau merampas sebagian harta pihak yang diintimidasi.

Para ulama telah bersepakat bahwa segala bentuk aktivitas finansial tidak bisa berlaku di bawah intimidasi. Namun mereka berbeda pendapat bila ternyata pihak yang diintimidasi merasa rela, setelah tidak diintimidasi lagi.

2. Kekeliruan.

Yakni kekeliruan yang berkaitan dengan objek perjanjian. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata yang didapatinya perhiasan terbuat dari kaca.

Kekeliruan itu sendiri terbagi menjadi dua:

a) Kekeliruan yang membatalkan perjanjian, yakni bila ter-jadi perbedaan jenis atau fasilitas objek perjanjian secara signifikan. Seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara bang-kai dengan hewan sembelihan yang sudah berupa daging.

b) Kekeliruan yang tidak sampai membatalkan perjanjian, akan tetapi pihak yang dirugikan tetap diberi hak untuk mem-batalkan perjanjian itu. Yakni ketika terjadi perbedaan yang bukan pada jenis atau fasilitas objek secara signifikan. Seperti orang yang membeli hewan dengan dugaan jantan, ternyata betina.

3. Penyamaran Harga.

Yakni terjadinya kekurangan pada salah satu barang barter atau kompensasi, atau terjadinya tukar menukar yang tidak adil (dan diketahui salah satu pihak). Penyamaran harga itu sendiri ada dua macam:

Penyamaran ringan. Yakni yang tidak menyebabkan objek perjanjian keluar dari harga pasaran dengan perkiraan harga para pakar perniagaan. Penyamaran ringan semacam ini dapat dimaklumi, bahkan hampir tidak ada jual beli yang selamat dari penyamaran semacam ini, sehingga tidak berpengaruh sama sekali.

Yang kedua adalah penyamaran berat yang sampai menge-luarkan barang perjanjian dari harga pasaran. Mengenai penga-ruhnya terhadap perjanjian usaha, ada tiga pendapat di kalangan para ulama:

a) Tidak perlu dipedulikan sama sekali, demi menjaga kemaslahatan berlangsungnya perjanjian usaha.

b) Atau menganggapnya dapat membatalkan perjanjian secara mutlak, demi menjaga pihak yang dirugikan agar tidak mendapatkan perlakuan semena-mena.

c) Atau dilihat dahulu, kalau dengan tujuan menipu (yakni disengaja), dapat membatalkan perjanjian. Namun bila tidak bertujuan demikian, maka tidak berpengaruh apa-apa. Kemung-kinan pendapat terakhir ini adalah yang paling tepat.

Semua rincian tersebut tidak berlaku bagi harta-harta wakaf dan harta orang bangkrut dan terlilit hutang serta harta Baitul Mal. Karena dalam semua harta tersebut, semua bentuk kamu-flase harga tidak membatalkan perjanjiannya. Karena pengo-perasian harta-harta tersebut harus berputar dalam kepentingan harta itu sendiri.

Mencermati Perubahan Kondisi Mendadak

Apabila terjadi perubahan kondisi mendatang pada masa terjadinya perjanjian secara drastis, seperti kenaikan nilai mata uang, kenaikan bahan-bahan pokok, sehingga pelaksanaan perjan-jian usaha tersebut sesuai perjanjian dapat menimbulkan kerugian besar bagi pihak yang menjaga komitmen yang harus ia tanggung, maka pihak hakim boleh merubah hak-hak dan komitmen bila terjadi konflik, sehingga kerugian ditanggung secara bersama oleh kedua belah pihak. Pihak pelaksana perjanjian juga berhak membatalkan perjanjian yang masih berlangsung kalau ia melihat lebih baik untuk dibatalkan saja, tentunya dengan memberikan kompensasi seimbang kepada pihak yang memiliki hasil perjanjian. Pihak hakim juga boleh membiarkan pelaksana untuk meneruskan pelaksanaannya kalau ia melihat itu lebih baik demi kemaslahatan pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.

Asal dari Transaksi dan Syarat adalah Mubah

Sehingga yang diharamkan adalah yang diindikasikan keha-ramannya oleh syariat atau qiyas.

Persyaratan Sanksi Hukuman

Persyaratan sanksi hukuman yang berlaku dalam berbagai perjanjian usaha sekarang ini dianggap sah dan diakui, bahkan harus diterapkan selama pihak yang bersalah tidak memiliki alasan yang diterima syariat dalam melanggar komitmen. Sehing-ga alasannya ini dapat menggugurkan sanksi hukuman tersebut.

Namun apabila persyaratan sanksi hukuman itu banyak sekali menurut kebiasaan, sehingga tujuannya adalah ancaman keuangan, jauh dari kode etik syariat, urusannya harus dikem-balikan kepada sikap adil dan bijaksana sesuai dengan manfaat atau bahaya yang timbul karenanya.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

Asal Segala Perjanjian Usaha dan Persyaratan adalah Mubah

Asal dari segala bentuk perjanjian usaha dan persyaratan adalah mubah, menurut pendapat ulama yang paling benar, (Mayoritas ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan nash-nash atau kesimpulan dari nash berdasarkan ijtihad. Kalangan Hambaliyah dan Ibnu Syurmah serta sebagian kalangan Malikiyah berpendapat lain. Mereka menyatakan bahwa transaksi dan persyaratan itu bebas) sehingga tidak ada yang diharamkan kecuali yang diindikasikan keharamannya oleh ajaran Islam, dengan dalil tegas atau qiyas. Di antara dalil-dalil mereka yang berpendapat demikian adalah sebagai berikut:

Asal dari perjanjian usaha adalah keridhaan kedua belah pihak. Konsekuensinya adalah komitmen yang mereka sepakati bersama untuk mereka. Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu...." (An-Nisa : 29).

Allah mengecualikan harta yang diambil dari orang lain dengan saling ridha dari harta-harta yang diharamkan. Yang dipersyaratkan dalam jual beli di dalam ayat ini hanya saling ridha alias suka sama suka, sebagaimana kerelaan hati menjadi syarat berinfak. Itu menunjukkan bahwa segala transaksi yang didasari faktor saling meridhai adalah boleh, kecuali kalau terbukti ajaran syariat mengharamkannya, seperti jual beli mi-numan keras.

Perjanjian dan persyaratan termasuk soal kebiasaan, dan asalnya adalah tidak diharamkan, karena asal dari kebiasaan adalah mubah. Allah berfirman:

.... padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya." (Al-An'am: 119).

Hukum ini berlaku umum untuk benda dan perbuatan. Hukumnya dijadikan sebagai standar hukum asli hingga ada penjelasan tentang keharamannya.

Nash atau dalil-dalil tegas yang melarang berbagai bentuk aktivitas amat sedikit sekali. Itu menunjukkan bahwa selain yang disebutkan keharamannya berada dalam kondisi asal, yakni mubah. Ibnul Arabi menyatakan, "Ada empat nash yang menjadi kaidah aktivitas kebiasaan dalam Islam:

1. Ayat-ayat tentang keridhaan dua pihak yang bertransaksi.
2. Firman Allah: "Dan Allah menghalalkan jual beli.."
3. Hadits-hadits tentang jual beli manipulatif.
4. Melihat tujuan dalam menjalankan aktivitas yang disyariatkan.

Sesungguhnya perjanjian usaha berbagai aktivitas yang berbeda-beda seperti jual beli, penyewaan, hibah dan sejenisnya, tidak diberi batasan khusus dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tidak ada juga riwayat yang dinukil dari para ulama As-Salaf bahwa semua perjanjian itu adalah sebentuk materi dengan kriteria tertentu. Sementara semua hal yang bersifat umum tak terikat satu kriteria batasannya, semua dikembalikan kepada kebiasaan. Yang dianggap masyarakat sebagai jual beli atau penyewaan, dianggap sebagai jual beli dan penyewaan, meskipun mereka menyebutkan dengan istilah dan ungkapan lain.

Namun kalangan azh-Zhahiriyah berpendapat lain. Mereka menyatakan, Tidak ada perjanjian dan persyaratan yang diboleh-kan, kecuali yang ditunjukkan oleh nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Mereka beralasan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalannya itu tertolak."

Demikian juga dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فيِ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

"Setiap persyaratan yang tidak ada dalam Kitabullah maka persyaratan itu batal, meskipun seratus persyaratan."

Hadits pertama dapat disangkal bahwa yang dimaksud dalam hadits itu sebagai amalan adalah ibadah. Dan sudah disepakati bahwa ibadah itu bersifat baku. Sementara alasan dengan hadits kedua dapat disangkal bahwa yang dimaksud dengan persyaratan di situ adalah persyaratan yang bertentangan dengan ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul. Batalnya bentuk persyaratan semacam itu juga sudah menjadi kesepakatan. Na-mun tidaklah secara aksiomatik terindikasikan bahwa merupakan hal yang wajib bahwa setiap persyaratan itu harus disyariatkan secara khusus dengan dalil praktis secara langsung dari Kita-bullah dan Sunnah Rasul.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

Mencermati Kondisi yang Berubah-ubah

Setelah perjanjian usaha berjalan aman, dalam sebuah per-janjian yang pelaksanaannya membutuhkan waktu panjang, bisa saja situasi dan kondisi berubah secara total, sehingga pelak-sanaan komitmen yang menjadi tanggung jawab salah satu pihak sesuai perjanjian usaha yang menimbulkan berbagai pengaruh yang amat membahayakan dirinya. Seperti naiknya harga mata uang secara drastis. Atau naiknya harga bahan-bahan pokok seca-ra menggila pula dalam sebuah perjanjian kontrak (membuat bangunan), dan sejenisnya. Lalu bagaimana sikap fiqih Islam terhadap persoalan ini?

Sesungguhnya dasar-dasar ajaran syariat membolehkan penerapan pengubahan komitmen demi menciptakan keadilan. Sehingga beban kerugian karena perbuahan situasi dan kondisi ini dialamatkan kepada pihak-pihak yang terikat perjanjian tersebut.

Persoalan ini pernah disampaikan kepada Majelis Fiqih Islam pada musyawarah kelima tahun 1402 H. Mereka menge-luarkan keputusan sebagai berikut:

1. Dalam berbagai akad yang pelaksanaannya membutuhkan waktu lama, seperti perjanjian usaha ekspor-impor, perjanjian usaha jasa pemeliharaan, pemborongan bangunan dan sejenisnya, bila terjadi perubahan kondisi saat pelaksanaan perjanjian usaha tersebut sehingga situasi, biaya dan harga berubah dengan drastis karena sebab-sebab mendadak yang tidak diduga sebelumnya pada saat akad, sehingga untuk melaksanakan berbagai komit-mennya salah satu pihak akan mengalami kerugian besar yang tidak wajar karena perubahan harga di dunia bisnis, namun bukan karena faktor keteledoran atau kelengahan dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian dalam menjalankan komit-mennya, maka persoalannya dikembalikan kepada hakim dalam kondisi demikian bila terjadi perselisihan. Dan sesuai dengan tuntutan keadaan, maka berbagai hak dan kewajiban diubah dengan konsekuensi bahwa segala kerugian karena ketidak-sesuaian harga dengan perjanjian ditanggung oleh kedua belah pihak.

Demikian juga pihak yang dirugikan berhak membatalkan perjanjian yang belum dilaksanakan, kalau ia menganggap bahwa pembatalan perjanjian itu lebih baik dan lebih memudahkan permasalahan yang dihadapinya. Tentunya dengan ganti rugi dari pihak yang bermasalah itu kepada pihak yang berhak terhadap hasil perjanjian. Sehingga dengan kompensasi itu dapat ditutupi bagian kerugian yang masuk akal untuk ditutupi sesuai akad, sehingga tercipta keadilan bagi kedua belah pihak tanpa meng-hancurkan pihak yang dirugikan. Dalam memberi berbagai pertimbangan tersebut seorang hakim bisa meminta pertim-bangan para pakar perniagaan yang bisa dipercaya.

2. Hakim juga berhak memberikan tenggang kepada pemborong bila ia melihat bahwa kondisi tiba-tiba itu masih bisa berubah kembali dalam waktu dekat, dan pemesan tidak menga-lami kerugian berarti dengan penangguhannya itu.

Demikianlah. Sesungguhnya Majelis Ulama Fiqih tersebut berpandangan bahwa solusi yang bersandarkan dasar-dasar sya-riat ini dapat merealisasikan keadilan yang diwajibkan pada dua pihak yang melakukan perjanjian usaha, dan dalam upaya menghindari bahaya yang akan dialami salah satu pihak karena satu sebab yang tidak ada campur tangan darinya. Solusi ini lebih menyerupai fiqih syariat yang bijaksana dan lebih mendekati kaidah-kaidah syariat serta tujuan-tujuan umum dari ajaran sya-riat dan keadilan.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

CACAT DALAM PERJANJIAN USAHA

Ketika melakukan sebuah perjanjian usaha terkadang per-janjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan perjanjian. Gambaran cacat itu dapat dipaparkan sebagai berikut:

Pertama: Intimidasi

Yakni mengintimidasi pihak lain untuk melakukan ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman.

Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:

* Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melak-sanakan ancamannya.

* Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.

* Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, tidak berpe-ngaruh sama sekali.

Intimidasi itu sendiri ada dua macam: Intimidasi fungsional dan non fungsional.

Intimidasi fungsional adalah intimidasi yang dapat merusak kerelaan dan hak pilih. Dalam hal ini, pihak yang diintimidasi menjadi alat di tangan intimidator. Intimidasi ini biasanya dila-kukan dengan ancaman bunuh, ancaman membuat cacat anggota tubuh atau pemukulan sadis yang dikhawatirkan membahayakan jiwa, membikin cacat atau melenyapkan seluruh harta.

Adapun intimidasi non fungsional adalah intimidasi yang merusak kerelaan namun tidak merusak hak pilih dan ini bisa dengan ancaman yang lebih rendah dan ancaman yang digunakan di atas seperti ancaman dengan pukulan yang tidak membina-sakan jiwa atau anggota badan atau ancaman dengan dilenyapkan sebagian harta.

Adapun apabila gangguan itu ringan dan tidak perlu dipedulikan, maka tidak ada pengaruhnya sama sekali, bahkan tidak dianggap sebaga intimidasi sama sekali. Barometer untuk membedakan antara gangguan yang tidak perlu dipedulikan de-ngan gangguan yang akan meningkat menjadi intimidasi adalah keputusan hakim. Karena tidak ada batasan yang tidak bisa diku-rangi atau dilebihi. Sementara membuat batasan dengan akal jelas tidak mungkin. Maka keputusannya dikembalikan kepada hakim, karena bisa berbeda-beda tergantung pula dengan kondisi manusia. Ada orang yang tidak merasa terancam kecuali bila di-pukul dengan keras atau dipenjara dalam waktu lama. Namun ada yang merasa terancam hanya dengan gertakan.

Para ahli fiqih telah bersepakat bahwa berbagai kegiatan finansial yang didasari oleh suka sama suka, seperti jual beli dan sejenisnya tidak dianggap sah bila dilakukan di bawah intimidasi. Namun apakah semua kegiatan itu dibolehkan setelah hilangnya intimidasi atau tidak? Yakni apabila muncul kerelaan setelah sebe-lumnya diintimidasi, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Ada perbedaan pendapat di kalangan alim ulama. Mayoritas ulama melarangnya, sementara Abu Hanifah membolehkannya.

Kedua: Kekeliruan.

Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian usaha tertentu. Yakni dengan menggambarkan objek perjanjian dengan satu gambaran tertentu, ternyata yang tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata dibuat dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata hanya dibuat dari katun.

Tidak diragukan lagi bahwa kekeliruan semacam ini tentu saja akan mempengaruhi keridhaan, karena faktor perbedaan antara kenyataan dengan hal yang diperkirakan sebelumnya yang seharusnya disenanginya. Bahkan bisa jadi urusannya akan berkembang sehingga perjanjian usaha menjadi gagal total karena objek perjanjian yang hilang. Seperti dua orang yang melakukan perjanjian dalam jual beli emas, ternyata pembeli mendapatkan barang beliannya hanya berupa tembaga. Karena objek perjanjian, yakni emas, tidak ada, maka perjanjian jual beli tersebut gagal karena objek hilang dari perjanjian.

Kekeliruan itu sendiri ada dua macam:

1. Kekeliruan yang berkonsekuensi batalnya perjanjian yang dilakukan, yakni yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis objek perjanjian, atau perbedaan menyolok pada fasilitas yang menjadi objek, seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara hewan sembelihan dengan bangkai pada perjanjian jual beli daging.

2. Kekeliruan yang bukan pada perbedaan jenis atau perbe-daan fasilitas yang menyolok, seperti orang yang membeli hewan jantan, ternyata hewannya betina, atau sebaliknya. Kekeliruan ini tidaklah membatalkan perjanjian tersebut, akan tetapi pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.

Ketiga: Ghubn (Penyamaran Harga Barang)

Ghubn secara bahasa artinya adalah pengurangan. Dalam terminologi ilmu fiqih, artinya adalah pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau barter antara dua alat kompensasi dianggap tidak adil karena tidak sama antara yang diberi dengan yang diterima. Seperti orang yang menjual rumah seharga sepuluh juta padahal hartanya hanya delapan juta. Dari pihak orang yang melakukan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang dengan kompensasi lebih dari harga barang. Sementara dari pihak yang menjadi korban penyamaran harga barang, memiliki barang dengan harga lebih mahal dari harga sesungguhnya barang tersebut.

Penyamaran harga barang itu sendiri menurut kalangan ahli fiqih ada dua macam: Penyamaran berat dan penyamaran ringan.

Penyamaran ringan : Yakni penyamaran pada harga barang yang tidak sampai mengeluarkannya dari harga pasaran, yakni harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan. Kegiatan pasar hampir tidak bisa diselamat-kan dari jenis penyamaran harga ringan semacam ini. Dalam semua jenis perjanjian usaha, penyamaran harga barang semacam itu dapat dimaklumi, tidak ada pengaruh apa-apa.

Penyamaran berat Yakni yang sampai mengeluarkan barang dari harga pasarannya. Penyamaran harga barang semacam ini tentu saja membatalkan perjanjian yang subjeknya adalah sebagai harta waqaf atau harta orang yang dicekal, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini harus berada dalam lingkaran kemaslahatan harta tersebut.

Adapun dalam perjanjian-perjanjian usaha lain, masih di-perselisihkan pengaruh penyamaran berat ini terhadapnya. Ada tiga pendapat yang popular :

1. Penyamaran harga semacam itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, demi menjaga kepentingan berlangsungnya perjan-jian usaha yang dilakukan dan menjaganya agar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu tidak lepas dari sikap teledor dan terburu-buru. Untuk itu ia juga harus menanggung akibat perbuatannya itu.

2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu berhak membatalkan perjanjian, untuk melepaskan sikap semena-mena terhadap dirinya.

3. Penyamaran harga barang ini bisa dimasukkan hitungan bila tujuannya adalah penipuan dari satu pihak, pihak yang men-jadi korban berhak membatalkannya. Kalau tidak dengan niat menipu pembeli, maka tidak ada pengaruh apa-apa. Kemung-kinan inilah pendapat yang paling pas dari semua pendapat di atas. Wallahu A'lam.

Barometer pembedaan antaran penyamaran ringan dengan berat adalah kebiasaan. Karena tidak ada batasan paten dalam persoalan ini. Adapun berbagai riwayat tentang perkiraan batasan penyamaran harga yang diambil dari sebagian ahli fiqih tidak di-anggap sebagai ajaran syariat yang permanen. Namun semua itu didasari oleh kebiasaan yang tersebar pada masing-masing zaman mereka.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

HAK PILIH DALAM PERJANJIAN USAHA, DIFINISI DAN MACAM-MACAMNYA

Definisi Khiyar (Hak Pilih)

Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang ter-baik dari dua hal (atau lebih)untuk dijadikan orientasi.

Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.

Hikmah disyariatkannya hak pilih adalah membuktikan dan mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian. Oleh sebab itu, syariat hanya menetapkan dalam kondisi tertentu saja, atau ketika salah satu pihak yang terlibat menegaskannya sebagai persyaratan.

Macam-Macam Hak Pilih

1. Hak Pilih di Lokasi Perjanjian (Khiyarul Majlis)

Yakni semacam hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

"Penjual dan pembeli memiliki kebebasan memilih selama mereka belum beranjak dari lokasi transaksi.”

Arti beranjak di sini adalah luas, dikembalikan kepada kebiasaan.

2. Hak Pilih dalam Persyaratan (Khiyar asy-Syarth)

Yakni persyaratan yang diminta oleh salah satu dari pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian, atau diminta masing-masing pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain, untuk diberikan hak menggagalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu.

Dasar disyariatkannya hak pilih ini adalah hadits Habban bin Munqidz. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidak-jelasan barang jualan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kepadanya hak pilih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ

"Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah, 'Tidak ada penipuan'."

Dari sisi lain, terkadang memang amat dibutuhkan adanya hak pilih semacam ini, ketika pengalaman berniaga kurang dan perlu bermusyawarah dengan orang lain, atau karena alasan lainnya. Kemudian para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan masa tenggang memutuskan pilihan tersebut. Ada di antara ulama yang membatasi hanya tiga hari saja. Ada juga yang menyatakan boleh lebih dari itu, tergantung kebutuhan.

Hak pilih ini juga bisa dimiliki oleh selain pihak-pihak yang sedang terikat dalam perjanjian menurut mayoritas ulama demi merealisasikan hikmah yang sama dari disyariatkannya persyaratan hak pilih bagi pihak-pihak yang terikat tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Zufar dan Imam Asy-Syafi'i dalam salah satu pendapat beliau. Namun pendapat mayoritas ulama dalam persoalan ini lebih tepat.

Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Nikah, thalaq, khulu' dan sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan.

3. Hak Pilih Melihat (Khiyar ar-Ru'yah)

Maksudnya adalah hak orang yang terikat perjanjian usaha yang belum melihat barang yang dijadikan objek perjanjian untuk menggagalkan perjanjian itu bila ia melihatnya (dan tidak ber-kenan).

Untuk keabsahan hak pilih ini, dipersyaratkan dua hal: Yang menjadi objek perjanjian hendaknya merupakan benda tertentu, seperti rumah, mobil dan sejenisnya. Kedua, hendaknya benda itu memang belum dilihat saat akad.

Hak pilih melihat ini memang masih diperselisihkan oleh para ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh tidaknya menjual barang-barang yang tidak terlihat wujudnya. Sebagian ulama membolehkannya secara mutlak. Ada juga yang justru melarangnya secara mutlak. Sebagian ulama ada yang membolehkan dengan satu persyaratan, dan bila tanpa persya-ratan itu mereka melarangnya. Nanti akan diulas secara rinci dalam pembahasan tentang jual beli "kucing dalam karung", insya Allah.

4. Hak Pilih Karena Cacat Barang (Khiyar Aib)

Hak pilih ini dimiliki oleh masing-masing dari pihak-pihak yang terikat perjanjian untuk menggagalkan perjanjian tersebut bila tersingkap adanya cacat pada objek perjanjian yang sebelumnya tidak diketahui.

Hikmah disyariatkannya hak pilih ini sangat jelas sekali. Karena kerelaan pada berlangsungnya perjanjian usaha juga didasari keberadaan objek perjanjian yang tidak ada cacatnya. Adanya cacat yang tersingkap menunjukkan rusaknya kerelaan tersebut. Oleh sebab itu disyariatkan hak pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menghilangkan kerelaan.

Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa mengurangi harga barang di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini tentu saja orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan barang tersebut. Juga diper-syaratkan bahwa cacat itu sudah ada sebelum serah terima, dan hendaknya orang yang melakukan perjanjian tidak mengetahui cacat itu. Persyaratan ini sudah dapat dimaklumi secara aksio-matik.

Hak pilih terhadap cacat ini memberikan hak kepada orang yang terikat perjanjian untuk melanjutkan perjanjian tersebut atau membatalkannya. Yakni apabila pembatalan perjanjian itu me-mungkinkan. Tetapi kalau perjanjian itu tidak mungkin dibatal-kan karena objek perjanjian bertambah atau berkurang sebelum diketahui cacatnya, pihak yang dirugikan hanya berhak menda-patkan kompensasi atau ganti rugi, yakni dengan menerima se-jumlah uang sesuai dengan pengurangan harga karena adanya cacat tersebut.

Tetapi kalau orang tersebut sudah rela dengan adanya aib itu secara terus terang atau ada indikasi ke arah hal itu, maka hak pilih itu dengan sendirinya gugur.

5. Hak Pilih Menentukan Objek Perjanjian Usaha

Artinya, hak bagi pembeli atau penjual untuk memilih dengan konsekuensi persyaratan dalam perjanjian usaha yang akan dilakukannya, untuk menentukan satu dari dua atau tiga objek yang sama nilai atau harganya. Perjanjian itu berlaku pada salah satu dari dua atau tiga objek itu saja, dan salah satu dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut berhak memilihnya.

Hak ini masih diperdebatkan juga oleh para ulama. Mayo-ritas ulama melarangnya, karena ketidakjelasan objek perjanjian, sehingga ibarat menjual kucing dalam karung yang itu jelas meru-sak perjanjian tersebut. Abu Hanifah membolehkan sistem ini dalam keadaan mendesak atau karena sudah menjadi kebiasaan, dengan catatan bahwa ketidakjelasan objek perjanjian itu tidak menyebabkan terjadinya pertikaian.

Keabsahan hak pilih ini bagi yang membenarkannya, mem-butuhkan tiga syarat:

* Pilihan itu hendaknya terhadap tiga macam objek atau kurang, karena itu yang menjadi kebutuhan. Bila lebih dari itu, jelas tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada alasan untuk melakukannya.

* Adanya perbedaan antara ketiga objek tersebut dengan penjelasan harga masing-masing barang. Adanya perbedaan itu untuk menepis adanya ketidakseriusan dalam memilih. Sementara penjelasan harga itu untuk menepis ketidakjelasan objek yang menimbulkan perselisihan.

* Pembatasan waktu. Abu Hanifah memberi persyaratan agar tidak lebih dari tiga hari, dianalogikan dengan hak pilih persyaratan. Namun kedua sahabat beliau lebih memilih semata-mata dibatasi waktunya saja, meskipun lebih dari tiga hari.

Mereka yang membolehkan hak pilih ini juga berbeda pendapat, apakah dalam hak pilih ini juga dipersyaratkan adanya khiyar syarth? Yakni dengan cara salah satu yang terikat perjanjian menetapkan syarat bagi dirinya untuk bisa menetapkan batasan waktu, dan hendaknya ia diberikan hak membatalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu, sehingga ia diberi pilihan antara memilih objek atau membatalkan. Atau tidak ada persyaratan demikian? Sehingga ia hanya memiliki kesempatan memilih atau menetapkan batasan waktu saja, namun tidak berhak menolak seluruhnya? Sedangkan mayoritas dalam madzhab ini mereka memilih pendapat terakhir ini.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

Yang Dijadikan Barometer dalam Perjanjian Usaha adalah Tujuan dan Pengertian Bukan Lafal dan Zhahir Ucapan

Kalau perjanjian usaha berlangsung, yang dilihat bukanlah lafal perjanjian yang diucapkan oleh kedua pihak yang melakukan akad. Namun harus dilihat tujuan mereka yang sesungguhnya dari semua ucapan mereka. Karena yang menjadi tujuan adalah pengertian lafal, bukan zhahirnya saja. Karena lafazh itu hanya merupakan delegasi dari pengertiannya. Yang menjadi barometer adalah pengertiannya, bukan lafalnya.

Kalau ada seseorang berkata, "Silahkan putar modal ini dan keuntungannya seluruhnya untuk Anda," berarti uang itu dija-dikan sebagai pinjaman, meskipun ungkapannya adalah investasi modal. Demikian juga penjaminan dengan persyaratan bebasnya orang yang memindahkan, maka itu adalah hiwalah pada hakikatnya, meskipun diungkapkan dengan istilah penjaminan. Demikian seterusnya.

Ibnul Qayyim menandaskan, "Sesungguhnya tujuan adalah ruh dari perjanjian, yang dapat menyebabkan sah tidaknya perjanjian tersebut. Sorotan terhadap tujuan dalam perjanjian itu lebih tepat daripada orientasi terhadap lafal perjanjian saja. Karena lafal itu diucapkan untuk mewakili hal lain. Tujuan dari perjanjian, itulah yang menjadi sasaran dari lafal tersebut. Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa barometer dari sebuah per-janjian adalah hakikat tujuannya, bukan sekedar zhahir lafazh yang diucapkan, atau aktivitas yang dilakukan."

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

Kendala-kendala Terhadap Kompetensi

Kendala secara bahasa artinya adanya halangan atau kondisi yang tidak sebagaimana asalnya. Bila dikaitkan dengan kejadian, artinya yang tidak permanen. Bila dikatakan ada kendala dalam urusannya, artinya ada yang menghalanginya untuk meneruskan perbuatannya sebagaimana biasanya.

Secara terminologis dalam ilmu fiqih adalah kejadian yang datang kepada seseorang di luar kewajaran sehingga melenyap-kan kompetensi yang dia miliki atau paling tidak menguranginya dan merubah justifikasinya.

Klasifikasi Kendala Kompetensi

Kendala-kendala kompetensi itu terbagi menjadi dua:

Pertama : Kendala-kendala samawi (berasal dari Sang Pen-cipta, yaitu Allah). Kendala ini tidak bisa dicampurtangani oleh manusia soal pembuatannya. Seperti kondisi gila, pingsan, linglung, tidur, sakit dan mati.

Kedua : Kendala-kendala yang diusahakan manusia. Artinya, manusia memiliki kemampuan untuk campur tangan mewujud-kannya. Seperti mabuk, ketidaktahuan dan hutang.

Gila ada kerusakan otak yang timbul karena depresi. Gila dapat melenyapkan kompetensi seseorang di tengah ia melakukan tugasnya, sehingga segala aktivitas yang dilakukan olehnya bisa batal dan menjadi sia-sia, tidak berbekas sama sekali. Hal ini tentu saja tidak bertentangan dengan soal kewajiban zakat pada hartanya, kewajibannya menanggung barang yang dirusaknya. Semua itu bukan termasuk dalam taklif, namun termasuk dalam perkara sebab akibat. Namun pertanggungjawabannya dialamat-kan kepada orang yang menjadi walinya.

Idiot, maksudnya adalah kelemahan dalam daya fikir karena lemahnya kesadaran dan daya tangkap. Penyakit ini tidak meng-hilangkan kompetensi secara keseluruhan, tetapi jelas mengu-ranginya. Segala aktivitas orang yang idiot ini disamakan dengan aktivitas anak kecil yang sudah nalar. Selama aktivitas itu me-mang bermanfaat semata, hukumnya sah. Kalau berbahaya, dianggap batal. Bila terkadang bermanfaat dan terkadang juga berbahaya, hukumnya tergantung izin dari walinya.

Sementara itu tidur dan pingsan dapat menghilangkan kom-petensi melaksanakan kewajiban dengan sempurna. Karena baro-meter kompetensi adalah akal. Sementara tidur menghilangkan akal dan mencegah kemampuan memilih. Akan tetapi pingsan dan tidur tidak menghilangkan tanggungjawab merusak barang. Karena sebagaimana telah dijelaskan, itu tidak termasuk dalam persoalan taklif. Namun berkaitan dengan hubungan sebab akibat yang konsekuensinya harus ditanggung.

Adapun mabuk, mayoritas ulama berpendapat bahwa mabuk yang diharamkan itu tidak menggugurkan pembebanan hukum, dan tidak juga menggugurkan kompetensi pelaksanaan amal. Semua aktivitas orang mabuk adalah sah dan berlaku. Namun ka-langan Malikiyah berpendapat lain, dalam riwayat yang populer dari mereka. Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mere-ka menganggap seluruh aktivitas orang mabuk itu batal, dalam kondisi apapun, menggugurkan pembebanan hukum dan meng-hilangkan kompetensi melakukan amal.

Adapun ketidakmampuan, yakni lawan dari kemampuan, yakni yang menyebabkan seseorang membelanjakan harta dan menghamburkannya tanpa aturan. Segala aktivitas orang pandir semacam itu disamakan hukumnya dengan perbuatan anak kecil yang nalar. Bila memiliki kemungkinan bermanfaat dan berba-haya, dikembalikan kepada pendapat walinya. Kalau ia meng-izinkan, hukumnya sah dan berlaku. Bila tidak, ya tidak.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

Kompetensi Seorang Wanita

Dalam kompetensi, seorang lelaki dan wanita sama saja. Hak-hak yang ditetapkan bagi seorang wanita sama dengan yang ditetapkan bagi seorang lelaki. Kewajiban bagi seorang wanita juga sama dengan kewajiban bagi lagi-laki. Hal ini sudah meru-pakan paket yang paten secara umum, tidak ada yang diperde-batkan kecuali dua hal:

Pertama : Kelayakan wanita untuk menangani akad nikah. Larangan terhadap tugas sebagai wali nikah telah dijelaskan oleh mayoritas ulama, dan itulah pendapat yang benar. Namun Abu Hanifah membolehkannya. Memang persoalannya merupakan ka-sus populer yang diperdebatkan. Namun semua ulama sepakat bahwa seorang wanita memiliki kebebasan memilih. Seorang wali tidak boleh memaksanya menikah dengan orang yang tidak disu-kainya.

Kedua : Kelayakan wanita untuk berinfak dari hartanya lebih dari sepertiga jumlah hartanya tanpa izin suaminya. Mayoritas ulama memang membolehkannya, namun Imam Malik mela-rangnya.

Selain dalam dua persoalan ini, wanita dan laki-laki memiliki kompetensi yang sama.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

Hukum Kegiatan Finansial yang Dilakukan Oleh Anak Kecil yang Sudah Nalar/mumayyiz.

Kegiatan finansial semacam itu terbagi menjadi tiga:

Pertama: Yang hanya mengandung hal-hal bermanfaat semata. Dalam hal ini, kegiatan tersebut sah. Seorang anak kecil boleh menerima hibah dan sejenisnya, asal tidak membahayakan dirinya. Meskipun itu tanpa izin walinya sekalipun.

Kedua: Kegiatan finansial yang hanya berisi hal-hal yang membahayakan. Kegiatan ini berdasarkan kesepakatan ulama tidak sah dilakukan anak kecil, meskipun diizinkan oleh walinya. Seperti memberikan hibah, meminjamkan uang dan sejenisnya, pokoknya yang bersifat membelanjakan harta dalam gengga-mannya.

Ketiga: Yang terkadang berguna dan terkadang berbahaya. Seperti jual beli dan sejenisnya. Keduanya berguna, misalnya ketika membeli si anak kecil dapat memiliki barang. Dan ia mendapatkan keuntungan ketika ia menjual sesuatu. Namun kedua kegiatan tersebut merugikannya karena bersifat membelanjakan harta yang ada dalam genggamannya.

Hukum kegiatan semacam ini tergantung pendapat wali si anak. Kalau si wali mengizinkan, kegiatan itu sah. Tetapi kalau tidak, maka tidak sah.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

Kapan seseorang memiliki kompetensi penuh pada diri seseorang berkaitan dengan kegiatan finansial?

Kompetensi itu dimiliki seseorang yang telah mengalami mimpi basah dan telah baligh secara sempurna, berdasarkan firman Allah:

"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya." (An-Nisa': 6).

Kalau kedua hal itu tidak semuanya dimiliki, seorang anak belum bisa diberikan hak hartanya. Bahkan sebagian ulama As-Salaf menyatakan, "Bisa jadi seseorang sudah bergelantungan jenggotnya, tetapi belum juga mencapai masa berkemampuan." Artinya, anak yatim itu belum bisa diserahi hartanya meskipun ia sudah tua renta, selama belum mencapai masa berkemampuan (rusyd).

Bahkan berbagai undang-undang positif buatan manusia telah menjadikan masa baligh sempurna itu sebagai barometer kompetensi penuh bagi seseorang. Meskipun mereka menetap-kannya pada usia dua puluh satu tahun. Sementara ajaran syariat tidak menetapkan umur tertentu untuk masa berkemampuan, karena kondisi seseorang itu berbeda yang satu dengan yang lain.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

Berbagai Terminologi yang Berkaitan dengan Kompetensi

1. Dzimmah (Kehormatan Dasar)

Dzimmah (kehormatan dasar) secara bahasa kata dzimmah dalam bahasa Arab artinya adalah 'ahd (perjanjian). Secara termi-nologis artinya adalah satu karakter pada diri seseorang yang menyebabkan dirinya berkemampuan untuk membebani atau terbenani hukum berdasarkan perjanjian yang terjadi antara Allah dengan para hambaNya ketika masih berada di punggung orang tuanya.

Kehormatan asasi ini juga yang menjadi barometer kom-petensi melaksanakan kewajiban sebagaimana telah dijelaskan sebe-lumnya. Hak ini sudah ada pada diri manusia semenjak ia masih berupa janin di perut ibunya hingga ia berjumpa dengan Allah.

2. Akal

Yakni karakter yang membuat seseorang berkompetensi memahami pembicaraan.

Perbedaan antara akal dengan kehormatan dasar adalah bahwa kehormatan dasar manusia hanya menjadikan dirinya berkemampuan membenani dan dibebani hukum. Sementara akal membuat manusia mampu memahami ucapan.

Kalau kehormatan dasar manusia saja sudah menciptakan kompetensi bagi dirinya untuk melaksanakan kewajiban, maka akal menjadi barometer kompetensi dalam menyempurnakan pelaksanaan kewajiban. Kompetensi ini memungkinkan dirinya untuk memahami ucapan. Itulah arti bahwa akal menjadi syarat dari kompetensi melaksanakan kewajiban. Sehingga terlaksa-nanya kewajiban itu amat tergantung kemampuan akal.

3. Taklif (pembebanan hukum)

Arti taklif secara bahasa adalah perintah melakukan hal yang berat. Secara terminologis dalam ilmu fiqih, artinya adalah pem-bebanan hal yang merupakan tugas. Bisa juga dikatakan, ucapan yang mengandung perintah dan larangan.

Barometer dari munculnya at-Taklif adalah kondisi akil dan baligh. Kalau seseorang sudah akil baligh, ia sudah berhak men-dapatkan beban taklif. Tidak dipersyaratkan ia harus mencapai masa baligh sempurna seperti halnya persyaratan dalam kom-petensi optimal dalam melaksanakan kewajiban. Barangsiapa yang sudah mimpi basah dan ia sudah memiliki dasar kemam-puan nalar yang bisa digunakan memahami ucapan, berarti ia sudah mencapai batas mendapatkan pembebanan hukum, meski-pun ia memiliki semacam kelainan mental atau kurang cakap menggunakan uang.

4. Al-Wilayah (Kekuasaan Syar’i)

Al-Wilayah adalah kekuasaan secara syar’i terhadap diri sendiri atau terhadap harta yang membawa konsekuensi terlaksa-nanya aktivitas sesuai ketentuan syariat pula. Syarat adanya ke-kuasaan ini tidak diragukan lagi adalah kompetensi menjalankan kewajiban.

Perbedaan antara kompetensi sendiri dengan kekuasaan syar’i adalah bahwa kompetensi tersebut lebih terorientasikan kepada kelayakan secara khusus, yang dengan kelayakan itu sega-la perjanjian dan aktivitas bisa dilaksanakan. Sementara al-Wilayah atau kekuasaan syar’i itu sendiri yang memungkinkan orang yang berakad menjalankan perjanjiannya, serta menetapkan segala konsekuensi dari perjanjian tersebut.

Faktor munculnya kekuasaan syar’i itu sendiri ada tiga:

Pertama: Dasar landasan. Yakni bahwa secara mendasar ia memang orang yang berhak melakukan perjanjian tersebut, ia adalah pemilik perjanjian. Itu terjadi karena adanya kompetensi optimal dalam menjalankan kewajiban, sehingga ia bisa mengi-katkan diri pada perjanjian tersebut.

Kedua: Kekuasaan syar’i terhadap orang lain. Seperti kekuasaan seorang ayah atau kakek terhadap anak atau cucunya yang masih kecil atau kurang nalarnya. Atau kekuasaan orang yang diwasiati oleh bapak atau kakek terhadap anak asuhannya, atau kekuasaan seorang hakim terhadap mereka semua.

Ketiga: Surat kuasa dari pihak yang berhak.

Kalau ketiga hal ini tidak ada, maka hilanglah kekuasaan syar’i tersebut, sehingga yang kita hadapi adalah sebuah aktivitas (fudhuli) tak berarti. Aktivitas fudhuli adalah segala aktivitas yang sebenarnya syar’i akan tetapi tidak memiliki landasan kekuasaan syar’i yang mendukungnya. Seperti orang yang menjual barang yang bukan miliknya, tanpa ada surat kuasa atau izin resmi dari pemiliknya. Asal hukum dari aktivitas fudhuli semacam itu adalah tergantung pada izin resmi dari orang yang memiliki kekuasaan.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

KOMPETENSI

Definisi dari kompetensi

Arti kompetensi secara bahasa adalah kelayakan. Dalam istilah ilmu fiqih, kompetensi yang bahasa Arabnya adalah ahliyyah berarti kelayakan seseorang untuk menetapkan atau menerima kewajiban. Yakni kelayakannya dalam menerima hak atau menjalankan kewajibannya.

Klasifikasi Kompetensi

Kompetensi diklasifikasikan menjadi dua: Kompetensi terhadap kewajiban dan kompetensi melakukan aktivitas. Masing-masing dari kompetensi tersebut bisa kurang dan bisa sempurna. Sehingga bisa diklasifikasikan ulang menjadi empat:

*Kompetensi Wajib Optimal:

Yakni kelayakan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan menerima haknya. Kelayakan itu sendiri sudah bisa dibuk-tikan apakah dimiliki seseorang atau tidak semenjak kelahirannya hingga ia meninggalkan dunia ini. Masing-masing manusia memi-liki kewajiban sesuai dengan kompetensi umur dan intelektuali-tasnya. Sehingga dibebani kewajiban yang berkaitan dengan hak-hak Allah hak-hak sesama makhluk sesuai dengan tabiat, kemam-puan, pemahaman, intelektualitas, dan karakter daripada kewa-jiban-kewajiban itu sendiri. Sehingga ketika ia sudah akil baligh, kompetensinya untuk melaksanakan kewajiban itu dianggap sudah mumpuni.

* Kompetensi Wajib Non Optimal:

Yakni kelayakan seorang manusia dalam menerima hak-haknya saja, yakni tanpa kelayakan untuk melaksanakan kewa-jibannya sedikitpun. Kelayakan ini sudah dimiliki oleh janin. Yakni dimulai ketika gumpalan darah melekat di rahim dan ber-langsung terus hingga lahir ke dunia. Pada fase ini janin pun sudah memiliki kehormatan untuk mendapatkan hak-haknya seperti pembebasan dari perbudakan, hak waris, wasiat dan nasab. Tetapi belum ada kewajiban apapun yang dibebankan kepadanya.

Yang menjadi sandaran dari adanya kompetensi optimal dan kompetensi non optimal adalah kehormatannya.

* Kompetensi Optimal Beraktivitas

Kompetensi optimal untuk melaksanakan aktivitas adalah kompetensi beroperasi dan beraktivitas. Yakni kelayakan sese-orang untuk melakukan berbagai aktivitas dengan cara yang di-anggap disyariatkan. Sandarannya tentu saja kesempurnaan daya nalar dan kesempurnaan fisik. Itu hanya bisa terjadi bila seseorang sudah mencapai masa akil baligh, tanpa ada akal. Kompetensi inilah yang menjadi barometer dibebankannya hukum syariat terhadap seseorang.

* Kompetensi Non optimal Beraktivitas

Yakni kelayakan seseorang melakukan sebagian aktivitas saja. Barometer kompetensi ini adalah keberadaan seseorang yang mumayyiz dan kompetensi ini akan terus berkembang hingga masa baligh.

Sebagian besar ulama menyatakan bahwa masa tamyiz itu dimulai pada umur tujuh tahun, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ

"Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun."

Kalau dalam umur sekian seorang anak belum bernalar, tentu memerintahkan mereka itu tidak ada gunanya. Seorang anak kecil boleh saja melaksanakan ibadah dan dinasihati untuk melaksanakan ibadah, namun tidak diharuskan. Ia juga boleh melakukan berbagai aktivitas seperti jual beli di bawah penga-wasan walinya.

Setiap anak yang sudan nalar memiliki kompetensi mela-kukan kewajiban. Karena barometer dari kompetensi ini adalah daya nalar. Kompetensi ini bisa kurang dan bisa optimal, sesuai dengan kadar kemampuan akal seseorang.

Kompetensi optimal itu baru bisa dimiliki oleh orang yang sudah akil baligh dan sehat mental, yang juga tidak tercekal kare-na satu sebab.

Sementara kompetensi non optimal dalam melaksanakan ke-wajiban bisa dimiliki anak yang sudah nalar, meski daya nalarnya belum sempurna. Termasuk anak kecil yang sudah nalar, atau orang bodoh yang masih berakal. Orang yang bodoh sekali yang tidak mampu mengoperasikan harta mereka dengan baik, ditam-bah lagi dengan orang yang linglung misalnya, semuanya adalah orang-orang yang berkompetensi tidak optimal. Meskipun mereka memiliki dasar kemampuan nalar, tetapi mereka tidak memilik daya nalar yang normal dan tidak memiliki kemampuan menga-tur segala sesuatu.

Berbagai Terminologi yang Berkaitan dengan Kompetensi

1. Dzimmah (Kehormatan Dasar)

Dzimmah (kehormatan dasar) secara bahasa kata dzimmah dalam bahasa Arab artinya adalah 'ahd (perjanjian). Secara termi-nologis artinya adalah satu karakter pada diri seseorang yang menyebabkan dirinya berkemampuan untuk membebani atau terbenani hukum berdasarkan perjanjian yang terjadi antara Allah dengan para hambaNya ketika masih berada di punggung orang tuanya.

Kehormatan asasi ini juga yang menjadi barometer kom-petensi melaksanakan kewajiban sebagaimana telah dijelaskan sebe-lumnya. Hak ini sudah ada pada diri manusia semenjak ia masih berupa janin di perut ibunya hingga ia berjumpa dengan Allah.

2. Akal

Yakni karakter yang membuat seseorang berkompetensi memahami pembicaraan.

Perbedaan antara akal dengan kehormatan dasar adalah bahwa kehormatan dasar manusia hanya menjadikan dirinya berkemampuan membenani dan dibebani hukum. Sementara akal membuat manusia mampu memahami ucapan.

Kalau kehormatan dasar manusia saja sudah menciptakan kompetensi bagi dirinya untuk melaksanakan kewajiban, maka akal menjadi barometer kompetensi dalam menyempurnakan pelaksanaan kewajiban. Kompetensi ini memungkinkan dirinya untuk memahami ucapan. Itulah arti bahwa akal menjadi syarat dari kompetensi melaksanakan kewajiban. Sehingga terlaksa-nanya kewajiban itu amat tergantung kemampuan akal.

3. Taklif (pembebanan hukum)

Arti taklif secara bahasa adalah perintah melakukan hal yang berat. Secara terminologis dalam ilmu fiqih, artinya adalah pem-bebanan hal yang merupakan tugas. Bisa juga dikatakan, ucapan yang mengandung perintah dan larangan.

Barometer dari munculnya at-Taklif adalah kondisi akil dan baligh. Kalau seseorang sudah akil baligh, ia sudah berhak men-dapatkan beban taklif. Tidak dipersyaratkan ia harus mencapai masa baligh sempurna seperti halnya persyaratan dalam kom-petensi optimal dalam melaksanakan kewajiban. Barangsiapa yang sudah mimpi basah dan ia sudah memiliki dasar kemam-puan nalar yang bisa digunakan memahami ucapan, berarti ia sudah mencapai batas mendapatkan pembebanan hukum, meski-pun ia memiliki semacam kelainan mental atau kurang cakap menggunakan uang.

4. Al-Wilayah (Kekuasaan Syar’i)

Al-Wilayah adalah kekuasaan secara syar’i terhadap diri sendiri atau terhadap harta yang membawa konsekuensi terlaksa-nanya aktivitas sesuai ketentuan syariat pula. Syarat adanya ke-kuasaan ini tidak diragukan lagi adalah kompetensi menjalankan kewajiban.

Perbedaan antara kompetensi sendiri dengan kekuasaan syar’i adalah bahwa kompetensi tersebut lebih terorientasikan kepada kelayakan secara khusus, yang dengan kelayakan itu sega-la perjanjian dan aktivitas bisa dilaksanakan. Sementara al-Wilayah atau kekuasaan syar’i itu sendiri yang memungkinkan orang yang berakad menjalankan perjanjiannya, serta menetapkan segala konsekuensi dari perjanjian tersebut.

Faktor munculnya kekuasaan syar’i itu sendiri ada tiga:

Pertama: Dasar landasan. Yakni bahwa secara mendasar ia memang orang yang berhak melakukan perjanjian tersebut, ia adalah pemilik perjanjian. Itu terjadi karena adanya kompetensi optimal dalam menjalankan kewajiban, sehingga ia bisa mengi-katkan diri pada perjanjian tersebut.

Kedua: Kekuasaan syar’i terhadap orang lain. Seperti kekuasaan seorang ayah atau kakek terhadap anak atau cucunya yang masih kecil atau kurang nalarnya. Atau kekuasaan orang yang diwasiati oleh bapak atau kakek terhadap anak asuhannya, atau kekuasaan seorang hakim terhadap mereka semua.

Ketiga: Surat kuasa dari pihak yang berhak.

Kalau ketiga hal ini tidak ada, maka hilanglah kekuasaan syar’i tersebut, sehingga yang kita hadapi adalah sebuah aktivitas (fudhuli) tak berarti. Aktivitas fudhuli adalah segala aktivitas yang sebenarnya syar’i akan tetapi tidak memiliki landasan kekuasaan syar’i yang mendukungnya. Seperti orang yang menjual barang yang bukan miliknya, tanpa ada surat kuasa atau izin resmi dari pemiliknya. Asal hukum dari aktivitas fudhuli semacam itu adalah tergantung pada izin resmi dari orang yang memiliki kekuasaan.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

 

:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::

KLASIFIKASI AKAD / PERJANJIAN

Akad memiliki banyak klasifikasi melalui sudut pandang yang berbeda-beda. Di sini akan kita singgung sebagian klasifikasi tersebut:

Pertama: Dari Segi Hukum Taklifi

Berkaitan dengan soal perjanjian ada beberapa hukum sya-riat yang ditetapkan. Berdasarkan sudut pandang ini, perjanjian terbagi menjadi lima:

1.Akad wajib. Seperti akad nikah bagi orang yang sudah mampu menikah, memiliki bekal untuk menikah dan khawatir dirinya akan berbuat maksiat kalau tidak segera menikah.

2. Akad sunnah. Seperti meminjamkan uang, memberi wa-kaf dan sejenisnya. Dan inilah dasar dari segala bentuk akad yang disunnahkan.

3. Akad mubah Seperti perjanjian jual beli, penyewaan dan sejenisnya. Dan inilah dasar hukum dari setiap bentuk perjanjian pemindahan kepemilikan baik itu yang bersifat materi atau fa-silitas.

4. Akad makruh. Seperti menjual anggur kepada orang yang masih diragukan apakah ia akan membuatnya menjadi minuman keras atau tidak. Dan inilah dasar hukum dari setiap bentuk akad yang diragukan akan bisa menyebabkan kemaksiatan.

5. Akad haram. Yakni perdagangan riba, menjual barang haram seperti bangkai, darah, daging babi dan sejenisnya.

Kedua: Dari Sudut Pandang Sebagai Harta (Akad mate-rial) Atau Bukan Material

Kalau ditinjau dari sudut sebagai harta atau bukan, akad terklasifikasikan menjadi tiga:

1. Akad harta dari kedua belah pihak disebut sebagai per-janjian materi, seperti jual beli secara umum, jual beli salm dan sejenisnya. Demikian juga perjanjian terhadap fasilitas, seperti penyewaan dan peminjaman barang. Karena fasilitas termasuk harta atau dijustifikasikan sebagai harta menurut mayoritas para ulama, berbeda dengan pendapat kalangan Hanafiyah.

2. Akad selain harta dari kedua belah pihak. Yakni akad yang terjadi terhadap satu pekerjaan tertentu tanpa imbalan uang, seperti gencatan senjata antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir harbi, akad penjaminan, wasiat dan sejenisnya.

3. Akad harta dari satu pihak dan selain harta dari pihak lain Seperti akad khulu', akad jizyah, akad pembebasan denda, dan sejenisnya.

Yang terkuat dari semua akad itu adalah akad selain harta dari kedua belah pihak. Karena akad yang bersifat material bisa dibatalkan karena adanya cacat pada barang kompensasinya. Seperti transaksi uang dengan barang dagangan. Sementara akad non material hanya bisa dibatalkan bila terjadi hal yang mencegah berlangsungnya akad tersebut.

Ketiga: Dilihat dari Sudut Pandang Sebagai akad Per-manen atau Non Permanen

Dilihat dari sudut permanen atau tidaknya, akad diklasifikasikan menjadi tiga pula:

1. akad permanen dari kedua belah pihak yakni akad yang terjadi di mana masing-masing dari kedua belah pihak tidak mampu membatalkan akad tersebut tanpa kerelaan pihak lain. Seperti akad jual beli, sharf, salm, penyewaan dan sejenisnya.

2. Akad non permanen dari kedua belah pihak yakni bahwa salah satu dari kedua belah pihak bila menghendaki bisa membatalkan akad tersebut. Contohnya, syirkah, wikalah, pemin-jaman, menanam modal dengan sistem qiradh, wasiat dan sejenisnya.

3.Akad permanen dari salah satu pihak namun non per-manen pada pihak lain. Seperti penggadaian barang setelah barang di tangan, penjaminan dan sejenisnya.

Di antara hukum yang berlaku pada akad permanen adalah tidak ada pilihan (khiyar) yang bersifat selamanya, dan tidak ada pula pembatalan setelah kematian salah satu yang terlibat dalam akad atau keduanya, salah satu menjadi gila atau pingsan dan sejenisnya. Lain halnya dengan akad non permanen. Kalangan Hanafiyah berpendapat lain dalam soal penyewaan. Mereka menyatakan: "Penyewaan itu terbatalkan setelah kematian. Karena akad itu berlangsung pada fasilitas barang, dan fasilitas itu mun-cul sedikit demi sedikit. Fasilitas yang diambil setelah wafatnya pemilik barang tentu saja belum ada ketika terjadi akad. Maka dengan sendirinya dalam akad penyewaan batas itu setelah kema-tian pemilik.

Keempat : Dilihat dari Sudut Pandang Apakah Ada Syarat penyerahan barang langsung Atau Tidak

Dilihat dari keharusan adanya penyerahan barang langsung atau tidak, perjanjian/akad terbagi menjadi dua:

1. Akad yang tidak mengharuskan serah terima barang secara langsung pada saat akad, seperti jual beli secara umum, wikalah, hiwalah dan lain-lain.

2. Akad yang mengharuskan serah terima barang secara langsung. Dan akad semacam ini, terbagi pula menjadi tiga:

a) Akad yang disyaratkan harus ada serah terima barang secara langsung untuk memindahkan kepemilikan, seperti hibah dan peminjaman uang. Dalam semua perjanjian ini kepemilikan tidak berpindah hanya berdasarkan akad, tetapi harus ada serah terima barang secara langsung, menurut mayoritas para ulama terkecuali kalangan Malikiyah.

b) Akad yang mensyaratkan serah terima barang secara langsung sebagai syarat sahnya, seperti sharf (Money Changer), jual beli salm dan penjualan komoditi yang ribawi. Dalam sharf (Money Changer) dan penjualan komoditi ribawi harus ada penyerahan barang langsung dan juga pembayarannya dalam satu waktu, kalau tidak akad jual beli itu rusak. Namun dalam jual beli salm harus didahulukan pembayaran harga modal dalam waktu akad, kalau tidak, jual beli itu juga rusak. Sebagian kalangan Malikiyah membolehkan penangguhan pembayaran harga modal itu hingga tiga hari. Karena sesuatu yang dekat dengan sesuatu, dianggap sama hukumnya dengan sesuatu tersebut.

c) Akad yang akan menjadi permanen bila ada serah terima barang secara langsung, seperti hibah dan pegadaian, maka mayo-ritas ulama berpendapat bahwa akad-akad itu tidak dianggap permanen dengan sekedar akad tersebut, tetapi dipersyaratkan serah terima barang untuk menjadikan akad tersebut permanen. Orang yang menghibahkan barangnya berhak untuk membatalkan hibahnya sebelum ada serah terima barang menurut mayoritas ulama. Namun sebagian ulama Malikiyah tidak berpendapat demikian. Demikian juga penggadaian itu dianggap batal menu-rut mayoritas ulama bila orang yang menggadai barang meng-gagalkannya sebelum diterima barang oleh pihak yang menerima gadaian. Demikian seterusnya.


Kelima: Dari Sudut Pandang Apakah Ada Kompensasinya Atau Tidak

Berkaitan dengan ada atau tidak adanya kompensasi, per-janjian/akad terbagi menjadi dua:

1. Akad dengan kompensasi, seperti jual beli, syirkah, penye-waan, pernikahan dan sejenisnya.

2. Akad sukarela, seperti hibah, penitipan, sponsorship dan sejenisnya.

{b]Pengaruh dari klasifikasi ini adalah sebagai berikut:

a. Adanya syarat untuk harus mengetahui bentuk kompen-sasi dalam berbagai akad dengan kompensasi. Komoditi berharga, uang pembayaran, upah dan sejenisnya. Dalam semua perjanjian tersebut kompensasi-kompensasi itu harus diketahui, kecuali dalam soal mahar atau kompensasi khulu'. Ketidaktahuan soal mahar atau kompensasi khulu' tidak membatalkan akad. Karena ada barometernya, yaitu mahar standar. Adapun akad sukarela, karena memang tidak membutuhkan kompensasi, tidak mengapa bila ada ketidakjelasan kompensasinya bila hendak diberikan, atau ada sedikit manipulasi, karena semua itu didasari oleh kemu-dahan dan tanpa batasan.

b. Wajibnya menunaikan apa yang menjadi perjanjian kedua belah pihak yang terikat, dalam perjanjian dengan kompensasi, berdasarkan firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu..." (Al-Maidah : 1).

Karena dengan tidak ditunaikannya perjanjian itu pasti akan terjadi kerugian pada pihak lain yang terikat, yakni hilangnya secara sia-sia segala kompensasi yang dia berikan sebagai imba-lannya. Lain halnya dengan akad sukarela di mana pemberian kompensasi itu hanya dianjurkan, tidak diwajibkan. Karena orang yang melakukan akad tersebut hanya berbuat baik. Orang yang sekedar melakukan amal kebajikan, tentu tidak diwajibkan ditun-tut kompensasi apa-apa.

Keenam: Dari Sudut Pandang Legalitasnya

Dipandang dari legalitasnya, akad terbagi menjadi dua:

1. Akad legal atau akad yang sah. Yakni akad yang secara mendasar dan aplikatif memang disyariatkan. akad yang meme-nuhi rukun-rukunnya dan aplikasinya secara bersamaan. Sehingga berlaku seluruh konsekuensi akad yang sah, seperti jual beli, sewa menyewa dan sejenisnya, apabila seluruh rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya sudah terpenuhi.

2. Akad ilegal atau akad yang batal. Yakni akad yang diang-gap ajaran syariat tidak diberlakukan padanya segala konsekuensi akad yang sah. Batasannya adalah segala akad yang pada asalnya dan secara aplikatifnya tidak disyariatkan, seperti akad orang gila, anak kecil yang belum baligh, atau akad usaha terhadap barang yang haram seperti bangkai, darah, daging babi dan sejenisnya. Atau akad yang secara asal disyariatkan, tetapi secara aplikatif tidak disyariatkan, seperti akad dengan orang di bawah paksaan, akad untuk barang yang tidak diketahui dalam akad dengan kompensasi.

Kalangan Hanafiyah membedakan antara akad yang secara asal dan secara aplikatif tidak disyariatkan, dan itu mereka sebut akad batil, dengan perjanjian yang secara asal disyariatkan namun secara aplikatifnya tidak, dan itu mereka sebut sebagai akad yang rusak. Berdasarkan pembedaan ini, terbentuk beberapa hasil praktis berkaitan dengan adanya konsekuensi terhadap akad rusak atau batil alias ilegal. Di antara konsekuensi tersebut menu-rut kalangan al-Hanafiyah adalah sebagai berikut:

Berpindahnya kepemilikan dalam akad rusak dengan serah terima barang bila direlakan oleh penjual. Si pembeli boleh secara bebas mengoperasikan barang tersebut dengan menghibahkan-nya, menyedekahkannya dan sejenisnya, kecuali menggunakan fasilitasnya. Pemindahan kepemilikan tersebut tentunya dengan kompensasi harta yang sama, bukan dengan pelafalan harga tertentu saja.

Bagi penjual, keuntungan dari perjanjian usaha penjualan rusak tersebut tetap baik adanya, lain halnya dengan pembeli. Alasan pembedaan itu menurut para ulama bahwa uang itu tidak bisa ditentukan dengan pembatasan nilai melalui pelafalan saja, sehingga tidak mungkin dinyatakan jelek, lain halnya dengan barang.

Akad jual beli yang rusak itu masih bisa diperbaiki, kalau kerusakannya dianggap ringan, yakni bila tidak menyentuh inti akad, seperti ketidaktahuan batas waktu pembayaran dalam soal khiyar (waktu tenggang menentukan transaksi), dalam harga dan sejenisnya. Adapun apabila kerusakan itu berat, yakni yang sudah menyentuh inti perjanjian, seperti dalam hal barang yang akan dijadikan obyek perjanjian atau kompensasi dari barang tersebut, karena semua itu tidak bisa menerima perbaikan menurut kesepakatan para ulama.

Adanya khiyar dalam sebuah akad rusak sama halnya dengan adanya pada sebuah akad normal. Baik perjanjian yang menggunakan hak pilih menentukan persyaratan atau hak pilih untuk tidak mengambil barang karena cacat.

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]