Saturday, February 17, 2007
:: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha ::
Mencermati Kondisi yang Berubah-ubah
Setelah perjanjian usaha berjalan aman, dalam sebuah per-janjian yang pelaksanaannya membutuhkan waktu panjang, bisa saja situasi dan kondisi berubah secara total, sehingga pelak-sanaan komitmen yang menjadi tanggung jawab salah satu pihak sesuai perjanjian usaha yang menimbulkan berbagai pengaruh yang amat membahayakan dirinya. Seperti naiknya harga mata uang secara drastis. Atau naiknya harga bahan-bahan pokok seca-ra menggila pula dalam sebuah perjanjian kontrak (membuat bangunan), dan sejenisnya. Lalu bagaimana sikap fiqih Islam terhadap persoalan ini?
Sesungguhnya dasar-dasar ajaran syariat membolehkan penerapan pengubahan komitmen demi menciptakan keadilan. Sehingga beban kerugian karena perbuahan situasi dan kondisi ini dialamatkan kepada pihak-pihak yang terikat perjanjian tersebut.
Persoalan ini pernah disampaikan kepada Majelis Fiqih Islam pada musyawarah kelima tahun 1402 H. Mereka menge-luarkan keputusan sebagai berikut:
1. Dalam berbagai akad yang pelaksanaannya membutuhkan waktu lama, seperti perjanjian usaha ekspor-impor, perjanjian usaha jasa pemeliharaan, pemborongan bangunan dan sejenisnya, bila terjadi perubahan kondisi saat pelaksanaan perjanjian usaha tersebut sehingga situasi, biaya dan harga berubah dengan drastis karena sebab-sebab mendadak yang tidak diduga sebelumnya pada saat akad, sehingga untuk melaksanakan berbagai komit-mennya salah satu pihak akan mengalami kerugian besar yang tidak wajar karena perubahan harga di dunia bisnis, namun bukan karena faktor keteledoran atau kelengahan dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian dalam menjalankan komit-mennya, maka persoalannya dikembalikan kepada hakim dalam kondisi demikian bila terjadi perselisihan. Dan sesuai dengan tuntutan keadaan, maka berbagai hak dan kewajiban diubah dengan konsekuensi bahwa segala kerugian karena ketidak-sesuaian harga dengan perjanjian ditanggung oleh kedua belah pihak.
Demikian juga pihak yang dirugikan berhak membatalkan perjanjian yang belum dilaksanakan, kalau ia menganggap bahwa pembatalan perjanjian itu lebih baik dan lebih memudahkan permasalahan yang dihadapinya. Tentunya dengan ganti rugi dari pihak yang bermasalah itu kepada pihak yang berhak terhadap hasil perjanjian. Sehingga dengan kompensasi itu dapat ditutupi bagian kerugian yang masuk akal untuk ditutupi sesuai akad, sehingga tercipta keadilan bagi kedua belah pihak tanpa meng-hancurkan pihak yang dirugikan. Dalam memberi berbagai pertimbangan tersebut seorang hakim bisa meminta pertim-bangan para pakar perniagaan yang bisa dipercaya.
2. Hakim juga berhak memberikan tenggang kepada pemborong bila ia melihat bahwa kondisi tiba-tiba itu masih bisa berubah kembali dalam waktu dekat, dan pemesan tidak menga-lami kerugian berarti dengan penangguhannya itu.
Demikianlah. Sesungguhnya Majelis Ulama Fiqih tersebut berpandangan bahwa solusi yang bersandarkan dasar-dasar sya-riat ini dapat merealisasikan keadilan yang diwajibkan pada dua pihak yang melakukan perjanjian usaha, dan dalam upaya menghindari bahaya yang akan dialami salah satu pihak karena satu sebab yang tidak ada campur tangan darinya. Solusi ini lebih menyerupai fiqih syariat yang bijaksana dan lebih mendekati kaidah-kaidah syariat serta tujuan-tujuan umum dari ajaran sya-riat dan keadilan.
oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & prof.Dr.Shalah ash-Shawi
Subscribe to Posts [Atom]